DOA PENGHUJUNG LAMUNAN
Seperti biasa
aku sudah tiba di ruangan ini sebelum bel masuk berbunyi. Ku singkap gordyn
kantor agar siluet matahari sedikit mengusir dinginku. Seperti biasa pula ku
sempatkan diri membenahi kerudung yang
sempat koyak terhempas angin saat aku membonceng motor suamiku. Sejenak ku tengok jadwal mengajarku. Ah…masih
nanti jam ke-3. Jumat ini terasa malas.Entahlah, mungkin karena sudah beberapa
hari ini tak turun hujan sehingga panas sedikt saja sudah terasa gerah.
Kuletakkan tas di atas meja kantorku. Kucoba mengusir malas dengan dengan
sedikit membaca buku. Lama kelamaan penat juga dan menguap adalah ending
episode yang nikmatnya tiada tara. Walau demikian tetap saja kubuka buku-buku
yang ku pegang karena kali ini rasanya tak ada yang lebih mengasyikkan.
Ya…ya…ya… halaman 32.kulihat ada puisi ‘Doa’ karya Chairil Anwar.
DO’A
(kepada
pemeluk teguh)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
…
Dengan membaca puisi itu aku mulai mengingat-ingat
usiaku. Cukup tua juga.Betapa tidak. Dulu aku di sekolah ini sebagai murid dan
sekarang di sekolah ini pula aku sudah menjadi seorang guru. Sejenak ku ingat
dosa dan khilaf yang pernah ku lakukan. Ternyata banyak, bahkan sangat banyak.
Lalu kulanjutkan membaca baris berikutnya
…
Tuhan-ku
Aku hilang bentuk
Remuk
…
Tanpa
sadar keluar istighfar dari mulutku “Astaghfirullohaladziim, Ya Alloh ampuni
sgala dosa hambamu”. Setelah selesai mengusap muka dengan kedua telapak
tanganku, kulirik puisi di sebelahnya.
DARI SEORANG GURU KEPADA
MURID-MURIDNYA
Karya : Hartono Andang Djaya
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu
Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga
Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua
Semula
kuamati seluruh tipografinya, barulah aku mulai membaca tiap barisnya.
Kurenungkan, kunikmati, dan terakhir ku coba tuk memaknai.
Te…Tet…Tet….
Bel jam pertama usai sudah tapi jam ke-3 belum lagi mulai. Ku manfaatkan sisa
waktu tuk tamasya ke negeri di awan.
Terbayang
wajah Satria sswa kelas IXA. Gagah, Perkasa, lengkap dengan seragam tentaranya.
Menyiapkan barisan kompi dengan lantang. Gerak barisnya persis yang kulihat di
televisi saat upacara HUT RI tanggal 17 Agustus dan aku menikmatinya sambil
tersenyum di barisan seragam PGRI.
“Istirahat di tempaaat… grak !!!” Aba-aba Satria kembali
lantang terdengar tapi momen itu kucuri untuk gantian memikirkan Hanifah.
Ya,gadis pendiam yang
langganan menjadi juara kelas itu ku
bayangkan suatu hari nanti menjadi dokter yang sholehah. Dengan kerudung
anggunnya, dengan senyum ramahnya, kubayangkan tiap pasien langsung sembuh
melihat teduh tatap matanya.
“Nomor 10” terdengar dokter Hanifah memanggil nomor
antrean.
Aku yang mulai batuk-batuk
diantar anakku ke rung praktik.
“Silakan duduk”, katanya.
“Terima kasih”, jawab anakku.
“Nama siapa?”
“Alamatnya dimana?”
“Berapa umurnya?”
“Keluhannya apa?”
“Sudah berapa hari?”
Setelah
mendengar jawabanku dokter Hanifah terlihat mengamatiku lebih detail,
Sepertinya ia berusaha mengingat-ingat masa lalu kemudian selanjutnya kulihat ia menyembunyikan
senyum. Selesai mencatat informasi yang kuberikan, ia membimbingku untuk
diperiksa. Dilentangkannya aku senyaman mungkin di tempat periksa yang
tersedia. Tensimeter mulai dipasang di lenganku.
“Bagus,
normal 120-100” katanya beberapa saat kemudian.
Selanjutnya
stetoskop mulai di ditempelkan di sekitar dadaku sambil sesekali membenahi alat
yang menempel di telinganya.
“Bagus
juga” katanya lagi.
“Penyakit
apa dokter?” tanyaku.
“Oh,
tidak apa-apa. Hanya batuk biasa kok, Bu. Tidak perlu khawatir”
“Jangan
banyak makan chiki dulu dan jangan main hujan-hujanan ya, Bu !”
Canda dokter hanifah melunakkan
kecemasanku. Kulihat sepertinya ia paham tentang aku. Dan kata-kata itu…?
Ya,ya…aku baru ingat. Kata-kata itu pernah ku ucapkan ketika hanifah murid
SMP-ku dulu terserang batuk dan sempat membuat tak nyaman suasana di kelas.
“Sudah selesai, ini resepnya, obatnya
dapat diambil di apotek.”
“Berapa biaya periksa,
Dokter?” tanya anakku.
“Oh, maaf, tidak usah.” Kata
dokter Hanifah.
“Memangnya kenapa, Dok?” tanya
anakku sedikit heran.
“Tidak apa-apa, Mbak. Ibu Anda pernah jadi guru saya dan sudah saya
anggap seperti ibu saya sendiri. Kesuksesan yang saya raih kini rasanya tak mungkin tanpa adanya
pahlawan seperti beliau.”
Mendengar jawaban itu,
cleee….ss hatiku bagai diguyur embun. Aku merasa sangat tersanjung.Berarti
nilai-nilai karakter yang pernah ku sisipkan waktu pelajaran dulu masih
membekas. Senang juga punya murid menjadi dokter. Periksa gratis?!...Oh, bukan
itu yang ku mau. Muridku boleh jadi seorang dokter tapi masa tuaku jangan
sampai sakit-sakitan.
“Kalau begitu terima kasih, Dok.
Permisi ?!”
“Nggih, sama-sama” kalimat
doter Hanifah mengakhiri pertemuan kami.
“Nomer 11”
Dokter Hanifah terdengar
memanggil nomor antrean berikutnya. Saat
keluar dari ruang praktik, tanpa sengaja aku tersandung timbangan berat badan
yang berada di samping pintu ruangan. Saat itu pula buyarlah lamunanku.
Selanjutnya
aku mencoba memikirkan Aldo. Ku ingat kembali setiap tingkahnya. Kurus,
jangkung dan malas. Seragam tak pernah rapi dan teman sekelas sering mengeluh
bau kaos kaki.
Ah,
dan yang tak kusukai hobimu ngupil saat murid yang lain mencatat.
Kalau kutanya “Bagaimana semuanya….jelas?” Ku perhatikan
jawabmu “Blaaaaaaaas”.
Aldo,Aldo.
Harian sering mbolos, ulangan sering tak lolos. Dalam hatiku sangat prihatin
melihatmu. Korban ‘broken home’ dari kampung seberang kini ditipkan pada
neneknya.
Aldo,
kamu besok jadi apa ya?
Arsitek?.............Sepertinya
jauh, karena nilai matematikamu kurang
Foto
model?..........(tidak menghina) sepertinya sulit juga.
Atau
mungkin seorang penarik becak. Ah, aku tak pernah punya cita-cita mempunyai
murid jadi penarik becak. Atau malah jadi preman pasar. (Aduh, mikir apa aku
ini) kalau benar terjadi jangan-jangan malah ikut memalakku saat aku belanja
sayuran di pasar.
Beberapa
siswa kelas VIIIB mengumpulkan tugas P Kn ke meja di belakangku. Satu buku
tugasnya terjatuh dan lagi-lagi memotng lamunanku.
Ku
lirik arlojiku. Bel jam ke-3 masih kurang 15 menit. Ada beberapa siswa kelas IX
menuju ke mushola untuk melaksanakan sholat Dhuha. Aku mengikuti mereka. Mulai
kubasuh diriku dengan air wudhu. Bergantian mereka melaksanakan sholat. Setelah
selesai, kudengar beberapa permintaan mereka.
“Ya,
Alloh. Berilah hambamu konsentrasi dalam belajar karna ujian segera tiba”
“Ya,
Alloh. Lancarkan ujian hamba dengan nilai yang obtimal”
“Ya,
Alloh. Kabulkanlah cita-cita hamba”
Dan masih banyak lagi permintaan-permintaan yang lain.
Aku juga tak mau ketinggalan. Kusisipkan sebaris permohonan.
“Ya,
Alloh. Kabulkanlah do’a anak didik hamba. AMIN.”
Renungan jelang ujian dari bu Pudji BI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar