Cari Blog Ini

2.09.2012

CERPEN


DOA PENGHUJUNG LAMUNAN

Seperti biasa aku sudah tiba di ruangan ini sebelum bel masuk berbunyi. Ku singkap gordyn kantor agar siluet matahari sedikit mengusir dinginku. Seperti biasa pula ku sempatkan diri membenahi kerudung  yang sempat koyak terhempas angin saat aku membonceng motor suamiku.  Sejenak ku tengok jadwal mengajarku. Ah…masih nanti jam ke-3. Jumat ini terasa malas.Entahlah, mungkin karena sudah beberapa hari ini tak turun hujan sehingga panas sedikt saja sudah terasa gerah. Kuletakkan tas di atas meja kantorku. Kucoba mengusir malas dengan dengan sedikit membaca buku. Lama kelamaan penat juga dan menguap adalah ending episode yang nikmatnya tiada tara. Walau demikian tetap saja kubuka buku-buku yang ku pegang karena kali ini rasanya tak ada yang lebih mengasyikkan. Ya…ya…ya… halaman 32.kulihat ada puisi ‘Doa’ karya Chairil Anwar. 

              DO’A
(kepada pemeluk teguh)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Dengan membaca puisi itu aku mulai mengingat-ingat usiaku. Cukup tua juga.Betapa tidak. Dulu aku di sekolah ini sebagai murid dan sekarang di sekolah ini pula aku sudah menjadi seorang guru. Sejenak ku ingat dosa dan khilaf yang pernah ku lakukan. Ternyata banyak, bahkan sangat banyak. Lalu kulanjutkan membaca baris berikutnya
Tuhan-ku
Aku hilang bentuk
Remuk

                Tanpa sadar keluar istighfar dari mulutku “Astaghfirullohaladziim, Ya Alloh ampuni sgala dosa hambamu”. Setelah selesai mengusap muka dengan kedua telapak tanganku, kulirik puisi di sebelahnya.


DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA
Karya : Hartono Andang Djaya


Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua


                Semula kuamati seluruh tipografinya, barulah aku mulai membaca tiap barisnya. Kurenungkan, kunikmati, dan terakhir ku coba tuk memaknai.
                Te…Tet…Tet…. Bel jam pertama usai sudah tapi jam ke-3 belum lagi mulai. Ku manfaatkan sisa waktu tuk tamasya ke negeri di awan.
                Terbayang wajah Satria sswa kelas IXA. Gagah, Perkasa, lengkap dengan seragam tentaranya. Menyiapkan barisan kompi dengan lantang. Gerak barisnya persis yang kulihat di televisi saat upacara HUT RI tanggal 17 Agustus dan aku menikmatinya sambil tersenyum di barisan seragam PGRI.
“Istirahat di tempaaat… grak !!!” Aba-aba Satria kembali lantang terdengar tapi momen itu kucuri untuk gantian memikirkan Hanifah.
Ya,gadis pendiam yang langganan menjadi juara kelas itu  ku bayangkan suatu hari nanti menjadi dokter yang sholehah. Dengan kerudung anggunnya, dengan senyum ramahnya, kubayangkan tiap pasien langsung sembuh melihat teduh tatap matanya.
“Nomor 10”  terdengar dokter Hanifah memanggil nomor antrean.
Aku yang mulai batuk-batuk diantar anakku ke rung praktik.
“Silakan duduk”, katanya.
“Terima kasih”, jawab anakku.
“Nama siapa?”
“Alamatnya dimana?”
“Berapa umurnya?”
“Keluhannya apa?”
“Sudah berapa hari?”
                Setelah mendengar jawabanku dokter Hanifah terlihat mengamatiku lebih detail, Sepertinya ia berusaha mengingat-ingat masa lalu  kemudian selanjutnya kulihat ia menyembunyikan senyum. Selesai mencatat informasi yang kuberikan, ia membimbingku untuk diperiksa. Dilentangkannya aku senyaman mungkin di tempat periksa yang tersedia. Tensimeter mulai dipasang di lenganku.
                “Bagus, normal 120-100” katanya beberapa saat kemudian.
                Selanjutnya stetoskop mulai di ditempelkan di sekitar dadaku sambil sesekali membenahi alat yang menempel di telinganya.
                “Bagus juga” katanya lagi.
                “Penyakit apa dokter?” tanyaku.
                “Oh, tidak apa-apa. Hanya batuk biasa kok, Bu. Tidak perlu khawatir”
                “Jangan banyak makan chiki dulu dan jangan main hujan-hujanan ya, Bu !”
Canda dokter hanifah melunakkan kecemasanku. Kulihat sepertinya ia paham tentang aku. Dan kata-kata itu…? Ya,ya…aku baru ingat. Kata-kata itu pernah ku ucapkan ketika hanifah murid SMP-ku dulu terserang batuk dan sempat membuat tak nyaman suasana di kelas.
“Sudah selesai, ini resepnya, obatnya dapat diambil di apotek.”
“Berapa biaya periksa, Dokter?” tanya anakku.
“Oh, maaf, tidak usah.” Kata dokter Hanifah.
“Memangnya kenapa, Dok?” tanya anakku sedikit heran.
“Tidak apa-apa, Mbak. Ibu  Anda pernah jadi guru saya dan sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri. Kesuksesan yang saya raih  kini rasanya tak mungkin tanpa adanya pahlawan seperti beliau.”
Mendengar jawaban itu, cleee….ss hatiku bagai diguyur embun. Aku merasa sangat tersanjung.Berarti nilai-nilai karakter yang pernah ku sisipkan waktu pelajaran dulu masih membekas. Senang juga punya murid menjadi dokter. Periksa gratis?!...Oh, bukan itu yang ku mau. Muridku boleh jadi seorang dokter tapi masa tuaku jangan sampai sakit-sakitan.
“Kalau begitu terima kasih, Dok. Permisi ?!”
“Nggih, sama-sama” kalimat doter Hanifah mengakhiri pertemuan kami.
“Nomer 11”
Dokter Hanifah terdengar memanggil nomor antrean berikutnya.  Saat keluar dari ruang praktik, tanpa sengaja aku tersandung timbangan berat badan yang berada di samping pintu ruangan. Saat itu pula buyarlah lamunanku.
                Selanjutnya aku mencoba memikirkan Aldo. Ku ingat kembali setiap tingkahnya. Kurus, jangkung dan malas. Seragam tak pernah rapi dan teman sekelas sering mengeluh bau kaos kaki.
                Ah, dan yang tak kusukai hobimu ngupil saat murid yang lain mencatat.
Kalau kutanya “Bagaimana semuanya….jelas?” Ku perhatikan jawabmu “Blaaaaaaaas”.
                Aldo,Aldo. Harian sering mbolos, ulangan sering tak lolos. Dalam hatiku sangat prihatin melihatmu. Korban ‘broken home’ dari kampung seberang kini ditipkan pada neneknya.
                Aldo, kamu besok jadi apa ya?
                Arsitek?.............Sepertinya jauh, karena nilai matematikamu kurang
                Foto model?..........(tidak menghina) sepertinya sulit juga.
                Atau mungkin seorang penarik becak. Ah, aku tak pernah punya cita-cita mempunyai murid jadi penarik becak. Atau malah jadi preman pasar. (Aduh, mikir apa aku ini) kalau benar terjadi jangan-jangan malah ikut memalakku saat aku belanja sayuran di pasar.
                Beberapa siswa kelas VIIIB mengumpulkan tugas P Kn ke meja di belakangku. Satu buku tugasnya terjatuh dan lagi-lagi memotng lamunanku.
                Ku lirik arlojiku. Bel jam ke-3 masih kurang 15 menit. Ada beberapa siswa kelas IX menuju ke mushola untuk melaksanakan sholat Dhuha. Aku mengikuti mereka. Mulai kubasuh diriku dengan air wudhu. Bergantian mereka melaksanakan sholat. Setelah selesai, kudengar beberapa permintaan mereka.
                “Ya, Alloh. Berilah hambamu konsentrasi dalam belajar karna ujian segera tiba”
                “Ya, Alloh. Lancarkan ujian hamba dengan nilai yang obtimal”
                “Ya, Alloh. Kabulkanlah cita-cita hamba”
Dan masih banyak lagi permintaan-permintaan yang lain. Aku juga tak mau ketinggalan. Kusisipkan sebaris permohonan.
                “Ya, Alloh. Kabulkanlah do’a anak didik hamba. AMIN.”


Renungan jelang ujian dari bu Pudji BI
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar